Jumat, 01 Agustus 2008

Islam: Agama Penuh Kedamaian?

Saya membaca di beberapa surat kabar dan majalah
beberapa waktu yang lalu, dimana dikatakan bahwa Islam
adalah agama penuh kedamaian, dan tidak pernah
mengajarkan kekerasan. Apakah hal itu benar?

Apabila dilihat dari sejarahnya, memang benar bahwa
penyebaran Islam itu dilakukan secara damai, melalui
jalur perdagangan, dakwah dan menikah dengan warga
setempat. Dan dalam ajarannya juga mengajarkan bahwa
sesama umat Islam adalah saudara sehingga harus saling
membantu (seperti yang dilakukan oleh beberapa umat
Islam belakangan ini - dengan semangat tinggi membela
rakyat Afghanistan tapi melupakan rakyat sendiri,
seperti Aceh).

Bisa saya katakan di sini untuk 'memperhalus' keadaan,
mungkin memang Islam adalah agama penuh kedamaian tapi
tidak fleksibel dalam pelaksanaannya. Atau mungkin
ajarannya fleksibel tapi para penganutnya yang 'bebel'
(keras kepala). Dalam beberapa ajarannya di Al-Qur'an
dikatakan bahwa apabila ada yang bersalah maka ia
harus dihukum, sebagai contohnya apabila tertangkap
mencuri, maka tangannya akan dipotong. Mungkin hukuman
tersebut dapat diterapkan pada masa lampau. Tapi
tidakkah itu sudah mulai mengajarkan kekerasan?
Mudah-mudahan saya yang salah membacanya - dan
syukurlah kalau memang benar saya salah membaca maka
hal itu bisa diluruskan di sini.

Tapi tetap saja hukuman tersebut masih diterapkan di
beberapa tempat. Sayang sekali! Masih banyak lagi
contoh yang bisa saya katakan di sini. Adanya
perbedaan perlakuan antara pria dan wanita, bahwa
wanita harus lebih tertutup dalam berpakaian, sehingga
tidak dianggap menggoda pria. Saya hanya mau
menanyakan apakah pria-pria Islam itu sudah pernah
merasakan cara berpakaian seperti itu? Tidakkah
dibayangkan panasnya berpakaian dengan cara seperti
itu. Pernah saya berkomunikasi dengan wanita Muslim
dan saya tanyakan apakah tidak panas menggunakan
pakaian yang tertutup semua dari ujung kaki hingga
ujung kepala. Dan dia menjawab, lebih baik panas di
bumi ini daripada panas di neraka. Tapi yang muncul
dipikiran saya, apakah dengan cara berpakaian seperti
itu dapat masuk surga. Bagaimana kalau ternyata dia
tidak berbuat amal juga di dunia ini? Sudah panas di
bumi, masih juga panas di neraka. Kasihan itu namanya.


Saat ini saya juga melihat banyak seminar yang
berbicara bahwa Islam itu tidak mengajarkan kekerasan,
tapi mana buktinya. Kalau hanya digembar-gemborkan
setiap hari, dan hanya berupa kata-kata, maka setiap
orang juga bisa melakukannya. Saya bisa bilang kalau
Taliban itu tidak mengharuskan para lelaki berjenggot,
tapi kenyataannya dimana-mana saat Taliban masih
berkuasa semua laki-laki di Afghanistan berjenggot,
dan apabila tidak maka akan dihukum. Konyol!

Boleh-boleh saja melakukan pembelaan diri, tapi jangan
sampai kelihatan tolol seperti itu. Ketololan itu
ditambah pula dengan adanya aksi pemaksaan oleh FPI
pada aksi-aksi mereka. Contohnya tahun lalu selama
bulan puasa, adanya berita bahwa FPI merusak salah
satu tempat penyimpanan minuman keras - lalu mereka
menyita minuman keras tersebut dan dibawa pergi untuk
dimusnahkan. Kenapa harus dibawa pergi? Kenapa tidak
dimusnahkan ditempat kejadian? Apakah minuman tersebut
diminum sendiri atau dijual kembali dan hasilnya
digunakan sebagai dana aksi pengrusakan. Pintar juga
caranya! Lalu juga Laskar Jihad menguasai jalur
minuman keras di Maluku. Wah, munafik sekali
orang-orang ini.

Satu lagi contoh apakah benar Islam adalah agama penuh
kedamaian? Mengenai bulan puasa tahun ini, banyak
tuntutan dari organisasi Islam dan beberapa umat Islam
(tidak saya katakan semua umat Islam, karena ada juga
umat Islam yang sebenarnya tidak setuju dengan hal
ini) yang sudah meminta pada Pemda masing-masing untuk
menutup usaha hiburan malam - dengan alasan untuk
menghormati para Muslim yang sedang melaksanakan
ibadah puasanya. Bukankah itu suatu bentuk pemaksaan -
walaupun secara halus? Dan yang lebih memalukannya
lagi adalah himbauan pelarangan usaha hiburan malam
itu juga datangnya dari MUI - suatu organisasi yang
memayungi kaum Islam seluruh Indonesia, yang merupakan
(seharusnya) tempat para Muslim intelektual yang
mempunyai pemikiran bijaksana (idealnya). Ditambahkan
pula dengan berita bahwa adanya pawai organisasi Islam
yang meminta usaha hiburan untuk tutup selama sebulan,
kalau tidak menuruti maka akibatnya ditanggung
sendiri. Sok jagoan sekali. Serasa seperti penguasa -
mungkin memang mereka ingin jadi penguasa, namun tidak
kesampaian. Lalu jadinya seperti ini.

Setiap tahun saya selalu bertanya, kenapa setiap hal
yang berbau Islam, maka seluruh manusia yang kebetulan
berada di Indonesia (orang asing yang sedang berlibur,
atau warga Indonesia beragama lain) harus menuruti
kondisi tersebut. Memang 90% dari jumlah penduduk
Indonesia adalah Islam. Tapi harus disadari pula, ada
umat Islam (moderat) yang merasakan hal tersebut tidak
benar dan tidak ingin melakukannya - atau bahasa
lugasnya tidak munafik. Kenapa orang-orang Islam yang
munafik itu tidak memperhitungkan suara-suara
minoritas? Apakah karena minoritas maka tidak perlu
dipertimbangkan? Kalau begitu sama saja dengan kondisi
Orde Baru (makanya jangan suka berteriak-teriak, untuk
menghapuskan sistem Orde Baru - kenyataanya sistem
tersebut ternyata nikmat juga? Menindas dan tidak
perlu memperhitungkan kondisi minoritas).

Lalu dengan permintaan menutup tempat hiburan malam -
apakah pernah terpikir mengenai para pekerja dari
usaha hiburan tersebut. Apakah MUI mau memberi mereka
nafkah selama sebulan sebesar gaji yang mereka terima?
Ataukah MUI, FPI dan yang lainnya beranggapan bahwa
mumpung lagi bulan puasa, ya tidak usah makan saja. -
Masih untung para pekerja itu bekerja secara halal,
tidak mencuri atau menodong. Masalah lain adalah
restoran-restoran di siang hari diharuskan menggunakan
tirai untuk menutupi beberapa tamunya yang datang dan
untuk makan. Apakah sedemikian parahnya sehingga harus
diberlakukan seperti itu.

Karena menurut saya pribadi - ibadah puasa memang
suatu hal yang diajarkan oleh agama Islam, tapi tidak
bersifat memaksa bagi pemeluknya. Apabila menjalankan
mendapatkan pahala besar. Namun, tidak pernah ada dan
tidak pernah saya baca bahwa penganut agama lain pun
diharuskan untuk merasakan hal yang sama walaupun
tidak secara langsung. Contohnya, seperti tadi -
dengan makan siang di restoran dan restoran tersebut
diharuskan menggunakan tirai. Bisa dikatakan dengan
bahasa yang lebih halus, tolong kalau mau makan jangan
kelihatan yang sedang berpuasa karena hal itu adalah
godaan., nanti mereka lapar juga. Lucu sekali!! Karena
kalau memang mereka niat untuk menjalankan ibadah
puasa - ada makanan depan mata, seharusnya tidak
tergiur. Seperti beberapa teman saya, malah ada yang
menemani saya untuk sekedar makan siang di
café/restoran, dan setelah saya tanyakan - dia
mengatakan tidak masalah, karena kemauan itu datangnya
dari hati. Itu baru saya acungkan jempol.

Juga untuk hiburan malam, dikatakan mengganggu bulan
suci. Kenapa? Saya rasa tidak benar. Karena hiburan
malam itu dilakukan di gedung tertutup (apalagi di
hotel-hotel), dan tidak akan kelihatan dari luar.
Kalau memang ada penganut agama Islam yang sedang
berpuasa dan malamnya datang ke tempat hiburan itu
sendiri, bukankah itu atas dasar kemauannya sendiri?
Kenapa untuk menghindari hal tersebut orang lain yang
harus mengerti dan 'menderita'? Kalau larangan itu
berdalih dengan mengatakan bahwa mayoritas penduduk
Indonesia adalah Islam - bisa saya katakan BOHONG
BESAR. Hal ini dilakukan oleh mereka-mereka yang
munafik dan iri hati. Sebenarnya mereka tidak ingin
berpuasa dan ingin bersenang-senang di malam hari, dan
makan di siang hari - tapi karena malu dan takut (jadi
bukan puasa yang tulus), mereka menggunakan dalih lain
untuk menutupi hal tersebut. Mereka itu adalah
sebenarnya tidak dapat menahan napsu duniawinya
sendiri, dan meminta orang lain untuk mengerti.
Picik!!!

Kalau mau dikatakan agama penuh kedamaian - tolonglah
untuk lebih fleksibel dan mau menghargai yang pihak
lain. Jangan hanya memikirkan dirinya sendiri. Hai
orang-orang PICIK, MUNAFIK, DENGKI DAN IRI HATI -
sadar dong!!

Tidak ada komentar: